
PROSES evakuasi pendaki wanita asal Brasil, Juliana Marins (27 tahun), yang tewas saat mendaki di Gunung Rinjani. (FOTO: DOK/HUMAS SAR)
Rio de Janeiro (edukalteng.com) – Pihak-pihak di Brasil masih belum sepenuhnya ‘mengikhlaskan’ kematian Juliana Marins, pendaki yang tewas akibat terjatuh di Gunung Rinjani, Nusa Tenggara Barat, Sabtu (21/6/2025) lalu. Mereka ‘mengutak-atik’ jenazah perempuan itu dan mengaku ada perbedaan perkiraan waktu kematian Juliana.
Atas permintaan keluarga Juliana, jenazah Juliana menjalani otopsi ulang di Institut Medis Forensik Rio de Janeiro (IML). Jumat (11/7/2025) tadi, Reginaldo Franklin seorang ahli forensik dari Polisi Sipil Brasil memaparkan hasil autopsi kedua terhadap jenazah Juliana.
Berdasarkan pemeriksaan tersebut, Franklin menemukan adanya larva pada kulit kepala korban yang menjadi petunjuk penting dalam memperkirakan waktu kematian.
“Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa Juliana Marins diperkirakan masih bertahan hidup selama kurang lebih 32 jam setelah mengalami jatuh pertama kali,” jelas Franklin kepada media Brasil.
Nelson Massini, pakar forensik lain yang turut terlibat dalam proses investigasi, menambahkan bahwa setelah terjatuh, Juliana sempat kembali terpeleset sejauh sekitar 60 meter.
Diperkirakan, Dia masih mampu bertahan dalam kondisi kesakitan selama 15 menit sebelum akhirnya meninggal dunia. Tubuh korban terus meluncur hingga akhirnya berhenti di titik sekitar 650 meter di bawah lokasi awal tempat ia terjatuh.
Para ahli Brasil mengonfirmasi penyebab kematian: pendarahan internal yang disebabkan oleh cedera organ ganda akibat beberapa trauma, sesuai dengan benturan berenergi kinetik tinggi, yang umum terjadi pada kasus jatuh dari ketinggian.
Hasil rontgen di Brasil menunjukkan fraktur pada tulang rusuk, tulang paha, dan panggul, yang menyebabkan pendarahan hebat. Pukulan lateral mengenai organ dalam, menyebabkan memar ginjal dan laserasi hati, yang mengakibatkan kerusakan struktural pada organ dalam dan pendarahan internal.
Laporan tersebut juga menunjukkan adanya memar di dada, paru-paru yang tertusuk oleh salah satu tulang rusuk, dan bukti pendarahan di dasar tengkorak.
Sebelumnya, hasil dari autopsi yang dikeluarkan dari pihak Rumah Sakit (RS) Bali Mandara menunjukkan bahwa Juliana meninggal 20 menit setelah jatuh di Gunung Rinjani. Juliana meninggal dunia karena mengalami benturan keras, bukan karena hipotermia.
Dokter spesialis forensik RS Bali Mandara Ida Bagus Putu Alit mengatakan, Juliana mengalami luka paling parah di dada akibat benda tumpul.
“Jadi kalau kita lihat yang paling terparah, itu adalah yang berhubungan dengan pernapasan. Yaitu ada luka-luka terutama di dada-dada, terutama di dada-dada bagian belakang tubuhnya. Itu yang merusak organ-organ di dalamnya,” katanya dalam konferensi pers, Jumat (27/6) lalu.
Alit berujar, korban juga mengalami luka lecet geser di sekujur tubuh akibat jatuh, terutama di bagian punggung serta anggota gerak atas dan bawah. Luka juga ditemukan di bagian kepala.
“Jadi kalau kita perkirakan paling lama 20 menit. Tidak ada bukti yang kita dapatkan bahwa korban ini meninggal dalam waktu yang lama dari lukanya,” jelasnya.
Kemudian, berdasarkan pemeriksaan, kata Alit, tidak ada tanda-tanda Juliana tewas karena terserang hipotermia.
“Tanda-tanda adanya hipotermia itu luka-luka yang ditimbulkan dari hipotermia tidak ada. Jadi luka-luka yang ditimbulkan oleh hipotermia itu adalah luka pada ujung-ujung jari. Jadi lukanya berwarna hitam, ini tidak ada luka. Berarti bisa kita katakan bahwa tidak ada hipotermia,” ujarnya.
Dia juga memastikan bahwa Juliana tidak meninggal karena kekurangan makanan atau minuman pasca-jatuh.
“Kalau kita lihat penyebabnya yang langsung itu pasti kekerasan. Jadi kita juga melihat adanya pendarahan yang memang jumlahnya sudah begitu besar dalam rongga tubuhnya. Jadi yang menyebabkan langsung itu adalah kekerasannya, jadi benturannya,” ujarnya.
Otoritas Brasil dan Indonesia masih terus melakukan koordinasi untuk memastikan seluruh proses investigasi berjalan secara menyeluruh dan transparan. (med/sar)