
SELEBRASI para pemain timnas putri U-19 usai menang adu penalti dan memastikan gelar juara III Asean Cup U-19, di Vietnam, pekan tadi. (FOTO: DOK. PSSI)
(Oleh: Andrian Saputra)*
Di tengah minimnya sorotan media, dana terbatas, dan absen total liga reguler sepak bola putri, sekelompok remaja perempuan Indonesia justru menuliskan cerita perlawanan di atas rumput Vietnam. Bukan perlawanan terhadap musuh, tapi terhadap ketidakpedulian sistematis yang terlalu sibuk menatap sepak bola pria.
Rabu sore, 17 Juni 2025, Thong Nhat Stadium jadi saksi drama klasik antara ketekunan dan keterbatasan. Timnas Putri Indonesia U-19 akhirnya mencatatkan namanya di posisi ketiga Piala AFF U-19, setelah menundukkan Myanmar lewat adu penalti 6-5 — pertandingan yang membuat jantung fans lebih rajin berdzikir daripada biasanya.
Tidak ada gol dalam 90 menit. Tapi siapa bilang pertandingan tanpa gol itu membosankan? Buat mereka yang paham, itu bukan nihil produktivitas, melainkan tarian rumit dua tim yang saling menyandera ambisi lawan. Dan saat semuanya harus ditentukan lewat adu penalti — seperti biasa, nasib bangsa dibebankan ke kaki dan tangan para remaja yang bahkan belum tentu dapat kontrak profesional.
Lalu muncullah nama Alleana — kiper muda yang tiba-tiba menjadi tokoh utama dalam narasi nasional yang biasanya enggan menyebut nama perempuan dalam sepak bola, kecuali kalau mereka viral di TikTok.
Dia menggagalkan dua tendangan penalti dengan refleks dewa dan keberanian yang mungkin lahir dari latihan, atau dari pengalaman hidup sebagai pesepak bola putri di negeri yang masih sibuk memperdebatkan “apakah sepak bola perempuan itu perlu?”
Tak hanya menang, kemenangan ini juga menjadi revenge arc bagi tim yang dua tahun lalu disalip Myanmar di posisi serupa. Bedanya, dulu mereka ditertawakan. Sekarang? Masih tetap ditertawakan, tapi oleh sistem, bukan penonton.
Dan ya, kemenangan ini penting — bukan karena piala, tapi karena ia membuktikan satu hal: jika sepak bola putri Indonesia diberi sedikit ruang dan sedikit hormat, mereka tak hanya bisa bertanding. Mereka bisa menang. Meskipun, untuk sementara, lebih banyak yang tahu hasil pertandingan lewat akun gosip bola daripada siaran langsung resmi.
Tapi begitulah kita. Sering kali baru peduli setelah skor akhir diumumkan, dan sudah terlalu ramai untuk berpura-pura mendukung sejak awal.
Harapan untuk Masa Depan
Prestasi ini seharusnya tak berhenti sebagai euforia sesaat. Di balik kemenangan ini, ada pesan yang lebih dalam: bahwa talenta, semangat, dan determinasi pemain sepak bola putri Indonesia tak kalah hebatnya. Yang mereka butuhkan adalah dukungan yang konsisten, bukan hanya sorak sorai ketika menang.
Ke depan, sudah waktunya sepak bola putri mendapat panggung yang setara—liga yang berjalan rutin, infrastruktur yang memadai, pelatihan yang berkelanjutan, serta perhatian media dan publik yang lebih luas.
Karena kemenangan sejati bukan hanya soal meraih piala, tapi memastikan bahwa setiap Nabila, Alleana, Aulia, dan Shifana berikutnya tidak harus membuktikan layak dipedulikan—mereka cukup diberi kesempatan sejak awal.
Semoga pencapaian ini menjadi titik tolak perubahan. Agar Garuda Pertiwi tak hanya terbang setinggi harapan, tapi juga mendarat di realitas yang lebih adil.
)* Penulis adalah pemerhati sepakbola Indonesia, tinggal di Karawang, Jawa Barat