
(Oleh: Rosadi Jamani)*
Malam itu, Selat Bali menampilkan diam yang mencekam, seolah menyimpan rahasia kelam yang sebentar lagi terkuak. Kapal penumpang KMP Tunu Pratama Jaya, yang usianya tak lagi muda, berlayar meninggalkan Pelabuhan Ketapang Banyuwangi pada pukul 22.56 WIB, 2 Juli 2025.
Kapal ini tak cuma membawa muatan; ia membawa harapan 53 penumpang dan 12 kru yang ingin menyeberang ke Gilimanuk, Bali—untuk pulang, berdagang, bekerja, atau mengejar mimpi-mimpi sederhana.
Namun semua mimpi itu terhempas ombak. Hanya 47 menit setelah meninggalkan dermaga, pada 23.15, kapal hilang dari pantauan radar. Di era satelit canggih, CCTV di setiap sudut, dan teknologi pemantau gelombang mutakhir, kapal bisa lenyap begitu saja. Kenyataan ini mengingatkan kita bahwa seberapa hebat pun kemajuan, risiko karam tetap nyata.
Pada 23.20, sinyal darurat dikirim—disebutkan mesin kapal mengalami kebocoran. Tapi laut tak menunggu klarifikasi. Hanya 15 menit berselang, tepat 23.35, kapal itu tenggelam di perairan Selat Bali, sekitar 200 meter dari garis pantai. Koordinatnya presisi: 8°09’32.35″S 114°25’6.38″E. Namun, apa arti keakuratan angka jika yang ditemukan kemudian hanya potongan pelampung, tas mengambang, dan sunyi yang gagal mengucap selamat tinggal?
Dari total 65 jiwa di atas kapal, 29 berhasil selamat—mereka berenang dengan tubuh terluka, dibantu nelayan setempat, bukan oleh sistem penyelamatan megah. 10 orang ditemukan sudah tak bernyawa, termasuk anak-anak dan kru kantin yang mungkin baru saja meracik kopi terakhir mereka. 30 lainnya masih hilang, entah akan ditemukan, atau selamanya menjadi penghuni sunyi dasar laut.
Laporan menyebut cuaca buruk. Gelombang setinggi 2–2,5 meter, arus deras 2 meter per detik, angin 9 knot. Namun para ahli seperti Dr. Setyo Nugroho dari ITS membeberkan kemungkinan lebih dalam: kapal yang uzur, kebocoran mesin, muatan tak stabil, perawatan minim, SOP keselamatan diabaikan. Ini bukan hanya bencana alam—ada jejak kelalaian sistemik yang dibungkus prosedur. Surat Persetujuan Berlayar tetap diterbitkan, jaket pelampung entah di mana, dan lautan dilawan dengan optimisme semu.
Seperti biasa, tanggapan akan datang. Pernyataan prihatin pejabat, janji evaluasi, headline media yang terdengar puitis. Tapi kita tahu, semua hanya karangan bunga di atas pusara yang akan berulang. Kita hafal narasinya: “Kami turut berduka,” “Kami akan investigasi,” “Kami pastikan tindak lanjut.” Hingga nanti, kapal lain dengan usia renta, diperindah sekadar poles cat, kembali melaut. Dan lautan lagi-lagi menerima tumbal berikutnya.
Biarlah karamnya KMP Tunu Pratama Jaya jadi batu nisan simbolik bagi ratusan kapal tua yang dipaksa bertahan di samudra. Biarlah Selat Bali menjadi saksi bisu bahwa seringkali, yang tenggelam bukan cuma kapal, melainkan juga rasa tanggung jawab kita sebagai bangsa yang mengaku maritim. Laut tidak pernah zalim. Yang zalim adalah sistem yang menempatkan jadwal keberangkatan di atas keselamatan manusia.
Semoga malam nahas itu—ketika langit memejam dan laut merenggut—tak menjadikan korban hanya angka statistik, tetapi bisikan gugatan sunyi pada negara yang kerap datang terlambat, bahkan sekadar untuk meminta maaf.
Yang karam bukan hanya badan kapal. Yang tenggelam lebih dalam adalah akal sehat, nurani, dan nyawa-nyawa yang lebih murah daripada biaya docking tahunan. Mereka bukan mati karena laut. Mereka meninggal karena sistem yang menganggap kebocoran sebagai rutinitas. Di negeri ini, tragedi tak lagi sekadar musibah; ia menjelma tradisi.
Atas nama kemanusiaan, saya haturkan belasungkawa terdalam bagi semua korban. Semoga ini menjadi duka terakhir, meski secangkir kopi kali ini terasa benar-benar pahit, bahkan tanpa gula.
)* Penulis adalah Ketua Pengurus Wilayah Persatuan Penulis Indonesia (Satupena) Kalimantan Barat